Minggu, 20 Februari 2011

Hukum Perikatan

Hukum Perikatan

Perikatan atau verbintenis mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan perjanjian, sebab dalam perikatan diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatigedaad) dan perihal perkataan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaameming).
Hukum perikatan ialah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang member hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Jadi ada dua pihak yang terlibat yaitu pihak yang berhak menuntut biasa disebut kreditur sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dimanamakan debitur. Adapun barang yang dapat dituntut dinamakan prestasi, yang menurut undang – undang dapat berupa :
• Menyerahkan suatu barang
• Melakukan suatu perbuatan
• Tidak melakukan suatu perbuatan

Undang – undang menerangkan bahwa sumber – sumber perikatan yang lahir dari undang – undang dapat dibagi lagi atas perikatan –perikatan yang lahir dari undang – undang saja dan yang lahir dari undang – undang karena suatu perbuatan orang, yaitu perbuatan yang melanggar hukum/ berlawanan dengan hukum dan perbuatan yang diperbolehkan.
Dalam hukum seseorang tidak boleh main hakim sendiri. Apabila seseorang berhutang tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi) yang menyebabkan ia dapat digugat didepan hakim. Seseorang berpiutang yang menghendaki pelaksanaan suatu perjanjian dari seorang berhutang yang tidak memenuhi kewajibannya, harus meminta perantara pengadilan tidak main hakim sendiri.tetapi sering bahwa si berhutang sendiri dari semula sudah memberikan persetujuaanyya, kalau ia sampai lalai, si berpiutang berhak melaksananakan sendiri hak – haknya menurut perjanjian, dengan tak usah meminta perantara hakim. Ini telah kita lihat dalam panrecht. Pelaksanaan yang dilakukan sendiri oleh seseorang berpiutang dengan tidak melewati hakim, dinamakan “parate executie”. Orang yang berhutang dengan memberikan tanggungan gadai sejak semula telah memberikan izin kalau ia lalai, barang tanggungan boleh dijual oleh si berpiutang untuk pelunasan hutang dengan hasil penjualan itu. Begitu pula halnya dengan seorang pemberi hypotheek dengan “beding van eigenmachtige verkoop”.
Jadi pada umumnya, si berpiuatang harus menempuh jalan menuntut si berhutang didepan pengadilan. Jika prestasi yang dikehendaki itu berupa membayar sejumlah uang, memang si berhutang yang enggan memberikan persetujuan atau bantuan itu si berpiutang masih menghadapi kesulitan.

 Macam – macam perikatan
1. Perikatan bersyarat (voorwaardelijk)
Yaitu suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadiaan dikemudian hari, yang masih belum tentu atau tidak terjadi.
2. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu (tijdsbepaling)
Perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan dating, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya, misalnya meninggalnya seseorang. Contoh – contoh suatu perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu banyak sekali dalam praktek, seperti perjanjian perburuhan, suatu hutang wesel yang dapat ditagih suatu waktu setelahnya dipertunjukkan dan lain sebagainya.
3. Periikatan yang memperbolehkan memilih (alternatief)
Yaitu suatu perikatan dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya, ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau uang satu juta rupiah.
4. Perikatan tanggung menanggung (hoofdelijk atau solidair)
Yaitu suatu perikatan dimana beberapa orang bersama – sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang sama – sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam ini sedikit sekali dalam praktek.
5. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi.
Suatu perikatan dapat dibagi atau tidak, tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil kemuka, jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantiukan oleh oleh beberapa orang lain. Hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang menyebabkan ia digantikan dalam segala hak – haknya oleh sekalian ahliwarisnya.
6. Perikatan dengan penetapan hukuman (strafbeding)
Yaitu dimana dalam praktek perjanjian dipakai suatu hukuman bagi si berhutang apabila ia tidak menepati kewajibannya. Hukuman ini biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu.

Referensi : elearning.gunadarma.ac.id/...hukum.../bab4-hukum_perikatan_dan_perjanjian.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar