Selasa, 22 Februari 2011

HUKUM EKONOMI

HUKUM EKONOMI

Definisi dan Tujuan Hukum Ekonomi
Hukum merupakan keseluruhan peraturan baik yang tertulis ataupun tidak tertulis yang mengatur tata tertib di dalam masyarakat dan terhadap pelanggarnya umumnya dikenakan sangsi. Jadi hukum bersifat memaksa, mau tidak mau masyarakat harus mematuhinya. Hukum memiliki unsur-unsur meliputi:
1.Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
2.Peraturan itu bersifat mengikat dan memaksa.
3.Peraturan itu diadakan oleh badan – badan resmi.
4.Pelanggaran terhadap peraturan tersebut dikenakan sangsi tegas.
Jadi dilihat dari kata hukum itu sendiri dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum ekonomi adalah segala sesuatu atau peraturan yang mengatur kegiatan ekonomi agar tidak terjadi penyimpangan para pelaku ekonomi. Hukum ekonomi timbul karena adanya perkembangan ekonomi yang semakin pesat dimana kebutuhan masyarakat yang tidak terbatas menimbulkan keinginan yang besar bagaimana kebutuhan yang kompleks itu terpenuhi. Dalam prakteknya jika tidak ada hukum ekonomi, maka banyak pelaku ekonomi yang melanggar etika, moral, hak dsb.
Pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang Dasar 1945.
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Penjelasan pasal 33 menyebutkan bahwa "dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat-lah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang". Selanjutnya dikatakan bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".
Sehingga, sebenarnya secara tegas Pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasannya, melarang adanya penguasaan sumber daya alam ditangan orang-seorang. Dengan kata lain monopoli, oligopoli maupun praktek kartel dalam bidang pengelolaan sumber daya alam adalah bertentangan dengan prinsip pasal 33.
Kemudian Hak Negara menguasai sumber daya alam dijabarkan lebih jauh -setidaknya-- dalam 11 undang-undang yang mengatur sektor-sektor khusus yang memberi kewenangan luas bagi negara untuk mengatur dan menyelenggarakan penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta mengatur hubungan hukumnya.

Hukum ekonomi Indonesia dibedakan menjadi 2, yaitu :
a. Hukum Ekonomi Pembangunan
Hukum ekonomi pembangunan adalah yang meliputi pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara – cara peningkatan dan pengembangan kehidupan ekonomi Indonesia secara nasional.
b. Hukum Ekonomi Sosial
Hukum ekonomi sosial adalah yang menyangkut peraturan pemikiran hukum mengenai cara – cara pembegian hasil pembangunan ekonomi nasional secara adil dan merata dalam HAM manusia Indonesia.
Namun ruang lingkup hukum ekonomi tidak dapat diaplikasikan sebagai satu bagian dari salah satu cabang ilmu hukum, melainkan merupakan kajian secara interdisipliner dan multidimensional.
Atas dasar itu, hukum ekonomi menjadi tersebar dalam pelbagai peraturan undang – undang yang bersumber pada pancasila dan UUD 1945.
Sementara itu, hukum ekonomi menganut azas, sebagi berikut :
1. Azas keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan TME.
2. Azas manfaat.
3. Azas demokrasi pancasila.
4. Azas adil dan merata.
5. Azas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam perikehidupan.
6. Azas hukum.
7. Azas kemandirian.
8. Azas Keuangan.
9. Azas ilmu pengetahuan.
10. Azas kebersamaan, kekeluargaan, keseimbangan, dan kesinambungan dalam kemakmuran rakyat.
11. Azas pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
12. Azas kemandirian yang berwawasan kenegaraan.

Referensi :
yasmin haddadi.blogspot.com/definisi-dan-tujuan-hukum-ekonomi.html

Minggu, 20 Februari 2011

Hukum Perikatan

Hukum Perikatan

Perikatan atau verbintenis mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan perjanjian, sebab dalam perikatan diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatigedaad) dan perihal perkataan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwaameming).
Hukum perikatan ialah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang member hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Jadi ada dua pihak yang terlibat yaitu pihak yang berhak menuntut biasa disebut kreditur sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dimanamakan debitur. Adapun barang yang dapat dituntut dinamakan prestasi, yang menurut undang – undang dapat berupa :
• Menyerahkan suatu barang
• Melakukan suatu perbuatan
• Tidak melakukan suatu perbuatan

Undang – undang menerangkan bahwa sumber – sumber perikatan yang lahir dari undang – undang dapat dibagi lagi atas perikatan –perikatan yang lahir dari undang – undang saja dan yang lahir dari undang – undang karena suatu perbuatan orang, yaitu perbuatan yang melanggar hukum/ berlawanan dengan hukum dan perbuatan yang diperbolehkan.
Dalam hukum seseorang tidak boleh main hakim sendiri. Apabila seseorang berhutang tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi) yang menyebabkan ia dapat digugat didepan hakim. Seseorang berpiutang yang menghendaki pelaksanaan suatu perjanjian dari seorang berhutang yang tidak memenuhi kewajibannya, harus meminta perantara pengadilan tidak main hakim sendiri.tetapi sering bahwa si berhutang sendiri dari semula sudah memberikan persetujuaanyya, kalau ia sampai lalai, si berpiutang berhak melaksananakan sendiri hak – haknya menurut perjanjian, dengan tak usah meminta perantara hakim. Ini telah kita lihat dalam panrecht. Pelaksanaan yang dilakukan sendiri oleh seseorang berpiutang dengan tidak melewati hakim, dinamakan “parate executie”. Orang yang berhutang dengan memberikan tanggungan gadai sejak semula telah memberikan izin kalau ia lalai, barang tanggungan boleh dijual oleh si berpiutang untuk pelunasan hutang dengan hasil penjualan itu. Begitu pula halnya dengan seorang pemberi hypotheek dengan “beding van eigenmachtige verkoop”.
Jadi pada umumnya, si berpiuatang harus menempuh jalan menuntut si berhutang didepan pengadilan. Jika prestasi yang dikehendaki itu berupa membayar sejumlah uang, memang si berhutang yang enggan memberikan persetujuan atau bantuan itu si berpiutang masih menghadapi kesulitan.

 Macam – macam perikatan
1. Perikatan bersyarat (voorwaardelijk)
Yaitu suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadiaan dikemudian hari, yang masih belum tentu atau tidak terjadi.
2. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu (tijdsbepaling)
Perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan dating, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya, misalnya meninggalnya seseorang. Contoh – contoh suatu perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu banyak sekali dalam praktek, seperti perjanjian perburuhan, suatu hutang wesel yang dapat ditagih suatu waktu setelahnya dipertunjukkan dan lain sebagainya.
3. Periikatan yang memperbolehkan memilih (alternatief)
Yaitu suatu perikatan dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya, ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau uang satu juta rupiah.
4. Perikatan tanggung menanggung (hoofdelijk atau solidair)
Yaitu suatu perikatan dimana beberapa orang bersama – sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang sama – sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam ini sedikit sekali dalam praktek.
5. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi.
Suatu perikatan dapat dibagi atau tidak, tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil kemuka, jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantiukan oleh oleh beberapa orang lain. Hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang menyebabkan ia digantikan dalam segala hak – haknya oleh sekalian ahliwarisnya.
6. Perikatan dengan penetapan hukuman (strafbeding)
Yaitu dimana dalam praktek perjanjian dipakai suatu hukuman bagi si berhutang apabila ia tidak menepati kewajibannya. Hukuman ini biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu.

Referensi : elearning.gunadarma.ac.id/...hukum.../bab4-hukum_perikatan_dan_perjanjian.pdf

Subjek dan Objek Hukum

Subjek dan Objek Hukum
A. Subjek Hukum
segala sesuatu yang menurut hukum dapat menjadi pendukung (dapat memiliki) hak dan kewajiban. Subjek hukum juga bisa diartikan setiap makhluk yang berwenang untuk memiliki, memperoleh, dan menggunakan hak-hak kewajiban dalam lalu lintas hukum.

Subjek hukum terdiri dari dua jenis :
1.) Manusia Biasa (Natuurlijke Persoon)
2.) Badan Hukum (Rechts Persoon)
• Subjek hukum manusia (Natuurlinjk Persoon)
Adalah setiap orang yang mempunyai kedudukan yang sama selaku pendukung hak dan kewajiban. Pada prinsipnya orang sebagai subjek hukum dimulai sejak lahir hingga meninggal dunia. Namun ada pengecualian menurut Pasal 2 KUHPerdata, bahwa bayi yang masih di dalam kandungan ibunya dianggap telah lahir dan menjadi subjek hukum jika kepentingannya menghendaki, seperti meninggal dunia, maka menurut hukum ia dianggap tidak pernah ada, sehingga ia bukan termasuk subjek hukum.
Tidak semua manusia dapat dikatakan sebagai subjek hukum, karena adanya ketidakcakapan dalam melakukan perbuatan hukum (Persone miserabile) yaitu :
Anak yang masih dibawah umur, belum dewasa dan belum menikah.
Orang yang dalam pengampuan (curatele) yaitu orang yang sakit ingatan.
• Badan Hukum
Adalah suatu perkumpulan atau lembaga yang dibuat oleh hukum dan mempunyai tujuan tertentu. Sebagai subjek hukum, badan hukum mempunyai syarat – syarat yang telah ditentukan oleh hukum yaitu : ( Teori kekayaan bertujuan )
 Memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan anggotanya.
 Hak dan kewajiban badan hukum terpisah dari hak dan kewajiban para anggotanya.
Badan hukum dibedakan dalam 2 bentuk :
1.) Badan Hukum Publik (Publick Retchs Persoon) seperti instansi pemerintahan.
2.) Badan Hukum Privat (Privat Retchs Persoon) seperti PT, Koperasi, Yayasan dsb.
Ada empat teori yang digunakan sebagai syarat badan hukum untuk menjadi subjek hukum, yaitu:
1. Teori Fictie
2. Teori kekayaan bertujuan
3. Teori pemilikan
4. Teori organ
B. Adapun objek hukum
menurut pasal 499 KUH Perdata, yaitu benda.
Benda yaitu segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum atau segala sesuatu yang menjadi pokok permasalahan dan kepentingan bagi para subyek hukum atau segala sesuatu yang dapat menjadi obyek hak milik.
 Jenis Obyek Hukum
Kemudian berdasarkan pasal 503-504 KUH Perdata disebutkan bahwa benda dapat dibagi menjadi 2, yakni benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen), dan benda yang bersifat tidak kebendaan (Immateriekegoderan).
1) Benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen):
a. Benda bergerak/tidak tetap
b. Benda tidak bergerak
2) Benda yang bersifat tidak kebendaan (Immateriekegoderen)
Hak kebendaan yang bersifat sebagai pelunasan hutang (hak jaminan):
Hak jaminan yang melekat pada kreditur yang memberikan kewenangan untuk melakukan eksekusi kepada benda yang dijadikan jaminan jika debitur melakukan wansprestasi terhadap suatu prestasi (perjanjian).
Dengan demikian, membedakan benda bergerak dan tidak bergerak ini penting, artinya karena berhubungan dengan 4 hal yakni :
a. Pemilikan (Bezit)
Pemilikan (Bezit) yakni dalam hal benda bergerak berlaku azas yang tercantum dalam pasal 1977 KUH Perdata, yaitu berzitter dari barang bergerak adalah pemilik (eigenaar) dari barang tersebut. Sedangkan untuk barang tidak bergerak tidak demikian halnya.
b. Penyerahan (Levering)
Penyerahan (Levering) yakni terhadap benda bergerak dapat dilakukan penyerahan secara nyata (hand by hand) atau dari tangan ke tangan, sedangkan untuk benda tidak bergerak dilakukan balik nama.
c. Daluwarsa (Verjaring)
Daluwarsa (Verjaring) yakni untuk benda-benda bergerak tidak mengenal daluwarsa, sebab bezit di sini sama dengan pemilikan (eigendom) atas benda bergerak tersebut sedangkan untuk benda-benda tidak bergerak mengenal adanya daluwarsa.
d. Pembebanan (Bezwaring)
Pembebanan (Bezwaring) yakni tehadap benda bergerak dilakukan pand (gadai, fidusia) sedangkan untuk benda tidak bergerak dengan hipotik adalah hak tanggungan untuk tanah serta benda-benda selain tanah digunakan fidusia.

REFERENSI :
1. http://husen30.blogspot.com/2010/03/resume-bab-2-subyek-dan-obyek-hukum.html
2. http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/46905aebe07908ddd40dd1fbfe4f7a1f9ac87e18.pdf